Wears oversized clothes and wedges shoes. Treats everything like the whole world crumbling. She wishes she could spend millions on Zara and Topshop, but she's too broke because of sour candies.

Mostly displaying her latest artwork. She has no scanner and too lazy to go find a place to scan, so pardon her lack of updates.

Pardon the image. She just couldn't find any picture of her literature works and ends up like that. Most of her written stories are in Indonesian language, let's cheer her to write in English, since her English sucks.

things that she captures with her Canon EOS 500D. She doesn't take care of it well, any camera-geeks will slap her for that.

on top of her paper drawn on her paper written on her paper captured on her paper

The Only Admirer

“Aren’t you tired?”

            Untuk pertama kalinya dalam dua jam terakhir, kepala laki-laki berpenampilan kira-kira berusia seperempat abad itu mendongak dari atas laptopnya, bergerak pelan-pelan seakan tulang lehernya begitu rapuh dan tak mampu menyangga beban kepalanya dengan benar. Ketika akhirnya ia memandangku setelah sekian lama berada dalam satu ruangan tanpa sekalipun berbicara satu sama lain, pandangannya seakan tak mengenaliku. Bibirnya juga tak melengkungkan senyum akrab dan semacamnya. Datar. Melihat reaksinya yang seperti demikian, dan jawabannya akan pertanyaanku juga tak kunjung terdengar, aku malah nyengir, menyesap cappucino dalam genggamanku sebelum menyapanya lebih lanjut.

            “Yo, Tuan Stalker, nggak capek apa daritadi liatin laptop terus.” Aku meninju bahunya pelan. Main-main, tentu. Kuperhatikan ekspresi wajahnya tak berubah sedikitpun meski aku yang asing baginya menyapanya dengan sebutan demikian. Haha, baguslah. Dengan santai kududukkan diriku sendiri di sofa di depannya. Gelas cappucino-ku di antara kami.

            “Ada orangnya.” Ia berujar pendek. Kaku. Tidak seperti dugaanku, ia tak menunjukkan tanda-tanda terganggu, meski jelas niatnya mengusir. Saat berbicara matanya tegas menatapku, membuatku nyengir semakin lebar sebelum membuang muka ke pintu kaca kafe yang sedang kami tempati ini.

            “Siapa yang mau datang? Cewek yang profil Facebook-nya lo buka-buka dari tadi itu?” Tak ada yang aneh dalam ekspresi maupun intonasiku ketika bertanya, namun pria itu langsung menutup laptopnya dengan defensif.

            “Pengintip.”

            “Stalker.” Balasku tenang.

            Selama beberapa detik, hanya pertukaran pandangan tajam yang menjadi komunikasi di antara kami, dua laki-laki asing yang tiga menit lalu masih bersikap seakan bahkan tak menyadari bahwa yang satunya hidup di dunia. Detik selanjutnya, laki-laki di hadapanku ini memutuskan kontak mata yang tajam, kewaspadaannya mengendur dan punggungnya terhempas ke sandaran sofa. Ia menggerakkan jarinya ke kanan dan ke kiri, memberikan gestur tidak setuju, dan berdecak pelan.

            “Tsk. ‘Stalking’ is such a harsh word.”

            Oh? Alisku naik sebelah. Mulutku sudah akan membuka namun ia melanjutkan kata-katanya sebelum aku sempat menyela.

            “I prefer ‘intense research of an individual’.”

            Gelak tawaku pecah. Meja yang menjadi pemisah di antara kami sampai bergetar. Beberapa pasang mata melirik terganggu kepadaku, namun pria di hadapanku tak bergeming dan bahkan tak mengubah ekspresi wajahnya. Aku menepukkan tanganku ke paha di antara derai tawa. “Jadi, katakanlah lo lagi melakukan riset intensif pada cewek di Facebook tadi,” kataku ketika tawaku sudah terkendali, “so that makes you a researcher not stalker.
           
            Ia mengangguk, namun beberapa saat kemudian menggeleng mantap. “Secret admirer, may I say.” Jawabnya percaya diri. Sedikit senyum menanjak naik ke sudut bibirnya, sementara jarinya membetulkan kacamata berframe kotak hitam yang bertengger di hidungnya. Secara keseluruhan, pria ini tak nampak istimewa. Duduk di sudut kafe dengan laptop terbuka, mengesankan dirinya adalah seorang fresh graduate biasa yang sedang bekerja dengan laptop. Kecuali yang dikerjakannya sejak tadi hanyalah membuka-buka foto, notes, dan menelusuri wall dari satu saja profil Facebook tertentu.

            “Oh, pengagum rahasia.” Ujarku dengan nada terkesan yang dibuat-buat. Seteguk lagi cappucino meluncur dalam kerongkonganku sebelum meneruskan, “Entah cewek itu beruntung atau buntung.”

            “Beruntung.” Laki-laki itu menyahut mantap. “Dikagumi gue.”

            “Ha.” Aku tertawa lagi. “Boleh gue lihat kayak apa dia?”

            Laki-laki itu tak menjawab. Tangannya waspada diletakkan di atas laptopnya, dan ia kembali memandangku dengan tajam. “Lo siapa?”
           
            “Cuma orang lewat. Daritadi gue bolak-balik di belakang kursi lo, dan I couldn’t help but notice bahwa sejak tadi lo cuma membuka-buka profil yang sama.”
           
            “Maaan, lo ga pinter bohong.”

            Aku nyengir lebar. “Oke, fotonya tadi sekilas cantik. Gue penasaran nggak boleh? Gue cowok normal, boi. Gue nggak tertarik sama lo-nya. Sumpah.”

            Kami berdua tertawa. Dia setuju memperlihatkan hanya satu saja foto perempuan yang sejak tadi dipandanginya. Seorang perempuan berambut sebahu yang cantik, berkulit putih mulus dan berpostur molek. Aku hanya memandangnya sekilas saja meski diluar aku sungguh-sungguh berpura-pura tertarik. “Selera lo bening.” Komentarku bercanda.

            “Adek kelas gue, cantik memang.” Ia menyetujui sekaligus menambahkan sedikit informasi. Aku mengangguk-angguk saja dan menyesap cappucino-ku lagi. Ketika tegukan terakhir habis, aku bangkit dari kursi dan meninju bahunya lagi, kali ini sedikit lebih keras.

            “Oke deh. Gue cabut, silakan have fun lagi dengan riset lo.” Cengiranku kembali terlihat dan ia membalas dengan senyuman tipis. Ketika aku membalikkan badan dan berjalan ke kasir untuk membayar, bisa kurasakan pandangannya tertuju ke punggungku seperti sebilah pisau yang menusuk. Namun ketika aku berbalik, ia sudah kembali menekuni laptopnya, tak tertarik dengan sekitarnya, seperti saat tadi sebelum kusapa.

            Aku tersenyum. Melangkahkan kakiku keluar dari kafe. Diluar, kutemui beberapa orang pria bertubuh besar yang sudah menungguku sejak tadi. Beberapa lembar uang kuselipkan ke tangan mereka dan ciri-ciri seorang laki-laki tertentu dengan kacamata berframe kotak hitam kusebutkan. Mereka mengangguk paham, dan satu tonjokan ringan kulayangkan kepada bahu salah seorang dari mereka sebagai tanda deal.

            Dan aku pun pergi.

            Satu lagi penggemar rahasia Rasti akan kulenyapkan. Tak ada yang boleh mengaguminya selain aku. Tak ada. Hanya aku.

            Hanya aku.



As submitted in writingsession.
17 Januari 2010. 

Share this post:

Digg it StumbleUpon del.icio.us Google Yahoo! reddit

0 komentar:

Posting Komentar