Wears oversized clothes and wedges shoes. Treats everything like the whole world crumbling. She wishes she could spend millions on Zara and Topshop, but she's too broke because of sour candies.

Mostly displaying her latest artwork. She has no scanner and too lazy to go find a place to scan, so pardon her lack of updates.

Pardon the image. She just couldn't find any picture of her literature works and ends up like that. Most of her written stories are in Indonesian language, let's cheer her to write in English, since her English sucks.

things that she captures with her Canon EOS 500D. She doesn't take care of it well, any camera-geeks will slap her for that.

on top of her paper drawn on her paper written on her paper captured on her paper

Jadi ini cerpen yang gue buat buru-buru untuk memenuhi tantangan tema Doppelganger dari writingsession. Well, enjoy!

On One Fine Day


“Konyol, kan mereka?”

            Kubalik-balikkan lembaran kusut yang sama dari novel yang tengah kubaca, mataku memandang jemu pada paragraf padat yang itu-itu saja. Jemariku bergerak cepat di ruang kosong antara halaman demi halaman seakan hanya merupakan aplikasi suatu gerakan rutin yang tidak sungguh-sungguh menyita perhatianku. Pikiranku tidak terletak pada timbunan aksara dalam buku ini. Pikiranku berusaha keras mengacuhkan dengus tawa mengejek yang terdengar dari atasku. Kurasa percuma kepura-puraanku membaca untuk mengalihkan perhatianku darinya, karena berikutnya dia sudah bicara lagi, tak terganggu dengan fakta bahwa aku belum menjawab pertanyaannya yang tadi.
           
            “Mereka selalu membesar-besarkan masalah, orang dewasa. Dan mereka bilang, anak kecil tukang ribut.”

            Dia terus bicara, banyak mengkritik, sambil mengayun-ayunkan kakinya dari atas pohon yang tumbuh di halaman ini. Bahu dan punggungnya bersandar santai ke batang yang kokoh, namun matanya awas dan lincah bergerak, mencela satu per satu kejadian di bawah sana dengan sorot mata angkuh layaknya tuan muda cilik. Walau memang benar. Jarinya menunjuk-nunjuk ke beberapa pelayan yang nampak ribut berlari memenuhi panggilan orang-orang dewasa yang berkuasa. Bibirnya mencibir dan suaranya terdengar lagi dari atas pohon,

            “Jean, harusnya kau lihat juga! Bayangkan, minggu lalu mereka menghukum kita karena menurut mereka, kita ribut, dan sekarang—”

            “TUAN EVAN!”

            Aku berjengit kaget. Menghentikan gerakan membalik-balik halaman bukuku dan mencuri-curi pandang ke balik pohon. Di belakang sana, seorang pelayan yang berdiri di beranda lantai dua menudingkan jarinya pada Evan yang bertengger nyaman di atas dahan besar dengan kengerian yang kentara. “Tuan Evan! Turun dari pohon itu! Berbahaya!” teriaknya dengan suara yang terdengar lelah.

            “Biarkan aku disini, Annie,” Evan mengibaskan tangannya dengan gusar, “kau urusi ribut-ribut ini.”

            “Tapi, Tuan Evan!” Annie, pelayan itu, berseru lagi. Aku memandangnya sambil tetap pada posisiku bersimpuh di balik pohon, sesekali aku mendongak dan melihat Evan melempar pandangan sebal kepadaku dan Annie secara bergantian, seakan-akan, salahku lah maka ia ketahuan sedang ada di atas sana.

            Aku memandang anak laki-laki itu dengan tidak suka.

            “Diam kau,” Evan mencetus pedas pada Annie, kali ini ia terdengar serius. “Lupakan kalau kau melihatku disini, sekarang pergi, urusi cucian atau bersihkan rumah!”

            Annie meneguk ludah dan memandang Evan dengan gugup. Di belakangnya, tuan dan nyonya rumah berteriak memanggilnya, menyuruh perempuan muda itu untuk memanggil dokter. Dengan segera Annie membalikkan badannya dan berlari masuk ke dalam rumah lagi.

            “Kenapa mereka butuh dokter?” Evan mencondongkan badannya, bergumam dengan suara rendah hingga hanya aku yang bisa mendengarnya. Tanpa suara aku mengangkat bahu dan menunduk kembali pada novelku, berusaha berkonsentrasi lebih jauh dan tidak mengindahkan kericuhan di dalam rumah. Evan menyadari minimnya keingintahuanku dan mendengus tertawa dengan keras.

            “Jean, sepupuku yang rajin! Menurutmu buku gendut itu lebih menarik daripada kehebohan entah apa di dalam rumah, ya?”

            Aku tidak menjawab.

            “Usiamu sama sepertiku, tiga belas, tapi kau bertingkah seperti guru-guru di sekolah, membawa dan membaca buku kapanpun, dimanapun.” Evan meneruskan ejekannya tanpa memperhatikan bahwa aku bahkan sebenarnya tidak mendengarkannya.

            “Lihat nanti kalau usiamu dua puluh, mungkin kacamatamu sudah setebal pantat gelas!”

            Dia anak yang bermulut kasar, ya?

            Aku membuka mulut, pada akhirnya berniat menjawab. Namun teriakan lantang dari Annie menghentikanku dan menarik perhatian Evan dariku. Kami berdua menoleh pada gadis pelayan yang kini tergopoh-gopoh keluar dari rumah dan menghampiri pohon tempat Evan dan aku berada.

            “Tuan Evan!” Wajah perempuan itu pucat. Aku menatapnya dingin, tanpa emosi. Namun kuangkat tubuhku untuk bangkit dari posisiku bersimpuh di balik pohon.

            “Hah. Annie.” Evan menggerutu dan bersiap turun. Dalam pikirannya, pastilah Annie sudah mengadu pada ayah-ibunya dan mereka memerintahkan Annie untuk memaksa Evan turun. Annie semakin dekat dan kini ia berseru ketakutan pada Evan, “Kenapa Tuan ada di atas sana!?”

            Aku membesarkan mataku, memandang Annie yang semakin jelas terlihat begitu ia berhenti cukup dekat, dari balik pohon. Evan juga memandangnya, namun kali ini ia tidak bicara apa-apa.

            “Tuan, sudah dengar bahwa—“

            “Tunggu! Aku turun!” Evan bangkit, wajahnya agak berubah dan kini ia tidak lagi bersikeras untuk tetap di atas sana. Buru-buru ia merambat turun dan begitu kakinya menjejak tanah, ia bergerak secepat kilat menghampiri Annie yang masih mengatur nafas.

            “Muncul, lagi, Tuan. Muncul.” Wajah Annie semakin pucat dan Evan kini menatapnya serius. “Apa maksudmu!?”

            “Sekarang, seperti biasa, dia sedang pingsan lagi di kamar...”

            “Tapi...” Evan  membuka mulut tapi tak ada kata-kata yang keluar.

            “Sekarang, tuan dan nyonya menyuruh Tuan Evan masuk ke dalam, temui Nona Jean karena dia terus-terusan memanggil Tuan Evan...”

            Sekarang, wajah Evan betul-betul pucat.

            Annie, tanpa menyadari perubahan air muka tuan mudanya, membalikkan badan untuk kembali ke dalam rumah dan menemui dokter keluarga yang baru saja sampai untuk memeriksa nona mereka. Dan Evan, membalikkan badannya ke arah pohon yang baru saja dinaikinya dengan wajah pias. Kesombongan yang sejak tadi menghias mukanya luntur semua. Matanya bergerak-gerak liar, mencari-cari.

            Mencari siapa? Entahlah. Aku sudah tidak ada disana ketika ia membalikkan badannya.

           

17 Januari, 2010.

“Aren’t you tired?”

            Untuk pertama kalinya dalam dua jam terakhir, kepala laki-laki berpenampilan kira-kira berusia seperempat abad itu mendongak dari atas laptopnya, bergerak pelan-pelan seakan tulang lehernya begitu rapuh dan tak mampu menyangga beban kepalanya dengan benar. Ketika akhirnya ia memandangku setelah sekian lama berada dalam satu ruangan tanpa sekalipun berbicara satu sama lain, pandangannya seakan tak mengenaliku. Bibirnya juga tak melengkungkan senyum akrab dan semacamnya. Datar. Melihat reaksinya yang seperti demikian, dan jawabannya akan pertanyaanku juga tak kunjung terdengar, aku malah nyengir, menyesap cappucino dalam genggamanku sebelum menyapanya lebih lanjut.

            “Yo, Tuan Stalker, nggak capek apa daritadi liatin laptop terus.” Aku meninju bahunya pelan. Main-main, tentu. Kuperhatikan ekspresi wajahnya tak berubah sedikitpun meski aku yang asing baginya menyapanya dengan sebutan demikian. Haha, baguslah. Dengan santai kududukkan diriku sendiri di sofa di depannya. Gelas cappucino-ku di antara kami.

            “Ada orangnya.” Ia berujar pendek. Kaku. Tidak seperti dugaanku, ia tak menunjukkan tanda-tanda terganggu, meski jelas niatnya mengusir. Saat berbicara matanya tegas menatapku, membuatku nyengir semakin lebar sebelum membuang muka ke pintu kaca kafe yang sedang kami tempati ini.

            “Siapa yang mau datang? Cewek yang profil Facebook-nya lo buka-buka dari tadi itu?” Tak ada yang aneh dalam ekspresi maupun intonasiku ketika bertanya, namun pria itu langsung menutup laptopnya dengan defensif.

            “Pengintip.”

            “Stalker.” Balasku tenang.

            Selama beberapa detik, hanya pertukaran pandangan tajam yang menjadi komunikasi di antara kami, dua laki-laki asing yang tiga menit lalu masih bersikap seakan bahkan tak menyadari bahwa yang satunya hidup di dunia. Detik selanjutnya, laki-laki di hadapanku ini memutuskan kontak mata yang tajam, kewaspadaannya mengendur dan punggungnya terhempas ke sandaran sofa. Ia menggerakkan jarinya ke kanan dan ke kiri, memberikan gestur tidak setuju, dan berdecak pelan.

            “Tsk. ‘Stalking’ is such a harsh word.”

            Oh? Alisku naik sebelah. Mulutku sudah akan membuka namun ia melanjutkan kata-katanya sebelum aku sempat menyela.

            “I prefer ‘intense research of an individual’.”

            Gelak tawaku pecah. Meja yang menjadi pemisah di antara kami sampai bergetar. Beberapa pasang mata melirik terganggu kepadaku, namun pria di hadapanku tak bergeming dan bahkan tak mengubah ekspresi wajahnya. Aku menepukkan tanganku ke paha di antara derai tawa. “Jadi, katakanlah lo lagi melakukan riset intensif pada cewek di Facebook tadi,” kataku ketika tawaku sudah terkendali, “so that makes you a researcher not stalker.
           
            Ia mengangguk, namun beberapa saat kemudian menggeleng mantap. “Secret admirer, may I say.” Jawabnya percaya diri. Sedikit senyum menanjak naik ke sudut bibirnya, sementara jarinya membetulkan kacamata berframe kotak hitam yang bertengger di hidungnya. Secara keseluruhan, pria ini tak nampak istimewa. Duduk di sudut kafe dengan laptop terbuka, mengesankan dirinya adalah seorang fresh graduate biasa yang sedang bekerja dengan laptop. Kecuali yang dikerjakannya sejak tadi hanyalah membuka-buka foto, notes, dan menelusuri wall dari satu saja profil Facebook tertentu.

            “Oh, pengagum rahasia.” Ujarku dengan nada terkesan yang dibuat-buat. Seteguk lagi cappucino meluncur dalam kerongkonganku sebelum meneruskan, “Entah cewek itu beruntung atau buntung.”

            “Beruntung.” Laki-laki itu menyahut mantap. “Dikagumi gue.”

            “Ha.” Aku tertawa lagi. “Boleh gue lihat kayak apa dia?”

            Laki-laki itu tak menjawab. Tangannya waspada diletakkan di atas laptopnya, dan ia kembali memandangku dengan tajam. “Lo siapa?”
           
            “Cuma orang lewat. Daritadi gue bolak-balik di belakang kursi lo, dan I couldn’t help but notice bahwa sejak tadi lo cuma membuka-buka profil yang sama.”
           
            “Maaan, lo ga pinter bohong.”

            Aku nyengir lebar. “Oke, fotonya tadi sekilas cantik. Gue penasaran nggak boleh? Gue cowok normal, boi. Gue nggak tertarik sama lo-nya. Sumpah.”

            Kami berdua tertawa. Dia setuju memperlihatkan hanya satu saja foto perempuan yang sejak tadi dipandanginya. Seorang perempuan berambut sebahu yang cantik, berkulit putih mulus dan berpostur molek. Aku hanya memandangnya sekilas saja meski diluar aku sungguh-sungguh berpura-pura tertarik. “Selera lo bening.” Komentarku bercanda.

            “Adek kelas gue, cantik memang.” Ia menyetujui sekaligus menambahkan sedikit informasi. Aku mengangguk-angguk saja dan menyesap cappucino-ku lagi. Ketika tegukan terakhir habis, aku bangkit dari kursi dan meninju bahunya lagi, kali ini sedikit lebih keras.

            “Oke deh. Gue cabut, silakan have fun lagi dengan riset lo.” Cengiranku kembali terlihat dan ia membalas dengan senyuman tipis. Ketika aku membalikkan badan dan berjalan ke kasir untuk membayar, bisa kurasakan pandangannya tertuju ke punggungku seperti sebilah pisau yang menusuk. Namun ketika aku berbalik, ia sudah kembali menekuni laptopnya, tak tertarik dengan sekitarnya, seperti saat tadi sebelum kusapa.

            Aku tersenyum. Melangkahkan kakiku keluar dari kafe. Diluar, kutemui beberapa orang pria bertubuh besar yang sudah menungguku sejak tadi. Beberapa lembar uang kuselipkan ke tangan mereka dan ciri-ciri seorang laki-laki tertentu dengan kacamata berframe kotak hitam kusebutkan. Mereka mengangguk paham, dan satu tonjokan ringan kulayangkan kepada bahu salah seorang dari mereka sebagai tanda deal.

            Dan aku pun pergi.

            Satu lagi penggemar rahasia Rasti akan kulenyapkan. Tak ada yang boleh mengaguminya selain aku. Tak ada. Hanya aku.

            Hanya aku.



As submitted in writingsession.
17 Januari 2010. 

I Photoshopped this artwork.
In this drawing you may see Barong from Bali, Bima, a wayang (puppet) from Java, nasi tumpeng (tumpeng rice, a traditional food made when it comes to a celebration), angklung, a traditional musical instrument, and bekel, a traditional game.


Plain sketch.
Guess who're they?
It's Ex President Soekarno, Prince Diponegoro, and Cut Nyak Dhien from Indonesia. They're the national heroes, and their stories are passed through every generations. MERDEKA!

P.S: another finger was drawn with Mega Mendung, a batik pattern from West Java.





also submitted to http://gambarbentar.tumblr.com/ click to see how doodles are fun! tee-hee :D

Ia mencintaiku.

Aku yakin itu. Aku bisa tahu dari senyumnya. Dari caranya memandangku hangat. Dari suaranya yang akrab memanggil namaku agar aku mendekat padanya.

Dan aku mencintainya.

“Apa kabar?” Ia tersenyum lebar, memandangku dan mengusap kepalaku dengan ramah. Aku tersenyum meresponnya.

“Kau sedang senang ya, hari ini?” Laki-laki itu melanjutkan sambil menarikku ke pangkuannya. Aku malu-malu menurut. Ia meletakkan tubuh mungilku dalam pangkuannya dengan hati-hati, lalu ia mulai bercerita, seperti biasanya yang ia lakukan jika mengunjungiku. Cerita tentang apa saja. Aku tak begitu peduli pada ceritanya, aku lebih suka memandanginya.

Ia mencintaiku.

“Sudah waktunya kau bertemu ibuku.” Ia bergumam pelan sambil mengamatiku lekat, suatu hari. Aku tergagap mendengarnya. Namun senyumnya yang menenangkan membungkamku. Lagi-lagi aku menurut saja, mengikuti langkahnya yang berjalan mendahuluiku jauh di depan. Langkahnya lebar-lebar, aku kesulitan dan berusaha mengejarnya. Dan ia mengerti. Ia berhenti dan menungguku menyusulnya.

Dan aku mencintainya.

“Ibu!” Ia berseru keras ketika membuka pintu rumahnya. “Seperti yang sudah kujanjikan, ibu!”

Aku berdebar-debar, tapi ia nampak begitu bangga ketika ibunya muncul, sehingga aku hanya mengikutinya dalam diam. Ibunya memandangku dan tersenyum lebar. “Ini dia yang ditunggu-tunggu!”

“Sana ikut ibuku.” Laki-laki itu mendorong tubuhku pelan dan aku mengikuti langkah ibunya, yang sepertinya ingin aku ikut ke dapur. Aku menoleh untuk memandang laki-laki yang kucintai, dan ia tengah tersenyum, melambai padaku dengan riang.

“Sampai ketemu nanti di makan malam,” Laki-laki itu tertawa lebar, tawanya yang paling kusuka. Masih saling berpandangan, ia memanggil namaku.

Aku mencintainya.

“Daah, Petok.”

Dan ia mencintaiku.


August 19th, 2010 (C) Fitrani Puspitasari
featured in: http://flashfiction.ubudwritersfestival.com/2010/08/he-loves-me-he-loves-me-not/

               Aku ingin memasuki duniamu.
 

               Tanganku bergetar ketika menyentuh permukaan halus dan dingin fotomu yang masih kusimpan dengan sangat hati-hati dan kujaga dengan baik. Bisikan kerinduan terpaksa kutelan kembali ke dalam kerongkonganku yang kering ketika wajah ceria yang lama tak kulihat memandangku dari balik lembaran mati tersebut. Tak peduli apa yang telah menetes dari sepasang telaga penglihatanku, apakah itu masih airmata atau darah, ketika mengingat sosok terakhirmu yang kulihat. Berlari meninggalkan pintu rumah, tidakkah itu kenangan yang jelek untuk diingat seorang ibu tentang anaknya?

               Ayahmu, ayahmu, nak. Ia memakiku ketika aku menangis meraung-raung di malam kepergianmu dari rumah ini. Aku tak henti-hentinya menyesali tindakanku yang begitu gegabah, membiarkanmu menemui ayahmu untuk menyatakan keputusanmu akan jalan hidupmu, dan berujung pada jalan mandiri yang tak kusangka memisahkanmu dariku selama sekian tahun. Begitu banyak usaha telah kulakukan untuk menemuimu kembali, namun setiap kesempatan langka yang kudapat untuk menghubungimu, selalu kau tampik dengan kalimat yang sama,

               “Ibu tak mengerti duniaku.”

               Aku menundukkan kepala, membiarkan isakan-isakan lembut berloncatan dari bibirku, sementara anganku melayang pada sosokmu ketika berusia tujuh tahun, tertawa dan menarik tanganku, menceritakan harimu di sekolah yang tak putus-putusnya kau gembar-gemborkan pada dunia. Kemudian berpindah, kali ini kau dengan toga mini yang dengan bangga kau kenakan di hari kelulusanmu dari sekolah menengah. Kau ceritakan dengan semangat tentang betapa terkesannya gurumu akan prestasimu, dan betapa terpesonanya murid-murid perempuan pada sosok tampanmu dengan toga. Kau tersenyum lebar.

               Mananya dari duniamu yang tak kumengerti?

               Kembali kusentuh fotomu yang menampilkan sosokmu dengan gitar pertamamu dalam pelukan, teman-teman bermain musikmu merangkulkan lengan kekar bertato mereka pada leher dan bahumu, semuanya memegang instrument masing-masing dan tampil mengerikan di mataku. Saat itu hanya kau yang tampil bersih, tanpa tato, rambut panjang acak-acakan, dan pakaian sobek-sobek. Hanya gitar itu yang menandakan hubunganmu dengan mereka. Namun jelas kulihat dalam sorot matamu yang berbinar ingin tahu, bahwa saat itulah aku mulai tak mengerti duniamu.

               “Ibu, hari Minggu ini aku akan pulang.”

               Masih terngiang suara beratmu di telepon, membisikkan kata-kata yang membahagiakan itu kepada jiwaku yang menua. Ayahmu mengangguk saja ketika kusampaikan berita ini, namun kutahulah dalam hatinya ia sama bahagianya denganku. Namun terlintas dalam benak bodohku yang merindukanmu ini, bahwa kau akan pergi lagi, meninggalkanku ketika kau menyadari bahwa kita masih di dua dunia yang berbeda. Aku harus melakukan sesuatu, atau kau akan meninggalkan ibumu lagi.

               “Nyai sungguh ingin melakukan ini?”

               “Lakukan saja, nduk.”

               Perih merajam kulitku, ledakan air mata membasahi kedua mataku, sementara pekikan putus asa meluncur deras dari verbalku. Rasa sakit ketika jarum itu menandai kulit lenganku dan rasa ngilu membayangkan zat pewarna yang menyebar di bawah kulitku tak seberapa dibanding ketakutanku akan kehilanganmu. Bahkan jika kelak ayahmu pulang dan mengetahui hal ini, aku tak peduli lagi asal kau, buah hatiku satu-satunya, mau mengerti bahwa ibumu rela memasuki dunia yang sama dengan duniamu.

               “Nduk, tolong dipercepat, anak itu bisa sampai kapan saja…”

               Anggukan ragu-ragu dari penato yang kumintai tolong itu menutup ringisan kesakitanku ketika kulit tuaku menerima lukisan laknat itu di atasnya. Gusti Allah, apa yang telah kulakukan ini? Betapa besar ketakutanku dan rasa sayangku pada anakku, hingga aku ikhlas menato tubuh senjaku.

               Semuanya demi anak itu.

               Dan pintu pun terbuka.

               Kau melangkah masuk, menemukan sosok tuaku di ruang tamu beserta penato itu dan bukti yang jelas terpahat di atas lenganku. Sementara mataku tak lepas darimu yang menatapku dengan mata yang kukenal, perasaan yang melandaku campur aduk.

               Bingkisan itu meluncur jatuh dari tanganmu yang jenjang, terbalut baju koko putih, isinya berserakan di dekat kakimu yang kau tutupi dengan selembar sarung sederhana. Air mata yang bercucuran adalah hal pertama yang kutangkap ketika wajah bersih dengan dahi kehitaman itu menghadapku. Sontak, tubuhmu lunglai, terjatuh di atas lututmu dengan lolongan panjang menyakitkan yang takkan kulupakan seumur hidupku.

               “Ya Allaaaah, apa yang kau lakukan, ibuuuuuuuuu? Kenapa kau nodai dirimu seperti ini? Aku sudah berubah, ibu, aku sudah berubah…..”

2010(c)Fitrani Puspitasari.


A drawing I made for the sake of a book written by my friend, Farida Susanty. The book itself is an anthology. "Karena Kita Tidak Kenal" ('Cause We Don't Know Each Other) has 16 or... 17 (...I forgot *feeling down*) short stories with the same theme, stranger. I also made the illustrations for each stories, but I won't publish it since I'm embarrassed. *gets shot*

Oh yeah, it's a cover design. You can see the result here:

http://www.goodreads.com/book/show/8329171-karena-kita-tidak-kenal
It's my first time drawing for a book cover. I know, it's lame and... uh... *feels down again*