Wears oversized clothes and wedges shoes. Treats everything like the whole world crumbling. She wishes she could spend millions on Zara and Topshop, but she's too broke because of sour candies.

Mostly displaying her latest artwork. She has no scanner and too lazy to go find a place to scan, so pardon her lack of updates.

Pardon the image. She just couldn't find any picture of her literature works and ends up like that. Most of her written stories are in Indonesian language, let's cheer her to write in English, since her English sucks.

things that she captures with her Canon EOS 500D. She doesn't take care of it well, any camera-geeks will slap her for that.

on top of her paper drawn on her paper written on her paper captured on her paper

I Photoshopped this artwork.
In this drawing you may see Barong from Bali, Bima, a wayang (puppet) from Java, nasi tumpeng (tumpeng rice, a traditional food made when it comes to a celebration), angklung, a traditional musical instrument, and bekel, a traditional game.


Plain sketch.
Guess who're they?
It's Ex President Soekarno, Prince Diponegoro, and Cut Nyak Dhien from Indonesia. They're the national heroes, and their stories are passed through every generations. MERDEKA!

P.S: another finger was drawn with Mega Mendung, a batik pattern from West Java.





also submitted to http://gambarbentar.tumblr.com/ click to see how doodles are fun! tee-hee :D

Ia mencintaiku.

Aku yakin itu. Aku bisa tahu dari senyumnya. Dari caranya memandangku hangat. Dari suaranya yang akrab memanggil namaku agar aku mendekat padanya.

Dan aku mencintainya.

“Apa kabar?” Ia tersenyum lebar, memandangku dan mengusap kepalaku dengan ramah. Aku tersenyum meresponnya.

“Kau sedang senang ya, hari ini?” Laki-laki itu melanjutkan sambil menarikku ke pangkuannya. Aku malu-malu menurut. Ia meletakkan tubuh mungilku dalam pangkuannya dengan hati-hati, lalu ia mulai bercerita, seperti biasanya yang ia lakukan jika mengunjungiku. Cerita tentang apa saja. Aku tak begitu peduli pada ceritanya, aku lebih suka memandanginya.

Ia mencintaiku.

“Sudah waktunya kau bertemu ibuku.” Ia bergumam pelan sambil mengamatiku lekat, suatu hari. Aku tergagap mendengarnya. Namun senyumnya yang menenangkan membungkamku. Lagi-lagi aku menurut saja, mengikuti langkahnya yang berjalan mendahuluiku jauh di depan. Langkahnya lebar-lebar, aku kesulitan dan berusaha mengejarnya. Dan ia mengerti. Ia berhenti dan menungguku menyusulnya.

Dan aku mencintainya.

“Ibu!” Ia berseru keras ketika membuka pintu rumahnya. “Seperti yang sudah kujanjikan, ibu!”

Aku berdebar-debar, tapi ia nampak begitu bangga ketika ibunya muncul, sehingga aku hanya mengikutinya dalam diam. Ibunya memandangku dan tersenyum lebar. “Ini dia yang ditunggu-tunggu!”

“Sana ikut ibuku.” Laki-laki itu mendorong tubuhku pelan dan aku mengikuti langkah ibunya, yang sepertinya ingin aku ikut ke dapur. Aku menoleh untuk memandang laki-laki yang kucintai, dan ia tengah tersenyum, melambai padaku dengan riang.

“Sampai ketemu nanti di makan malam,” Laki-laki itu tertawa lebar, tawanya yang paling kusuka. Masih saling berpandangan, ia memanggil namaku.

Aku mencintainya.

“Daah, Petok.”

Dan ia mencintaiku.


August 19th, 2010 (C) Fitrani Puspitasari
featured in: http://flashfiction.ubudwritersfestival.com/2010/08/he-loves-me-he-loves-me-not/

               Aku ingin memasuki duniamu.
 

               Tanganku bergetar ketika menyentuh permukaan halus dan dingin fotomu yang masih kusimpan dengan sangat hati-hati dan kujaga dengan baik. Bisikan kerinduan terpaksa kutelan kembali ke dalam kerongkonganku yang kering ketika wajah ceria yang lama tak kulihat memandangku dari balik lembaran mati tersebut. Tak peduli apa yang telah menetes dari sepasang telaga penglihatanku, apakah itu masih airmata atau darah, ketika mengingat sosok terakhirmu yang kulihat. Berlari meninggalkan pintu rumah, tidakkah itu kenangan yang jelek untuk diingat seorang ibu tentang anaknya?

               Ayahmu, ayahmu, nak. Ia memakiku ketika aku menangis meraung-raung di malam kepergianmu dari rumah ini. Aku tak henti-hentinya menyesali tindakanku yang begitu gegabah, membiarkanmu menemui ayahmu untuk menyatakan keputusanmu akan jalan hidupmu, dan berujung pada jalan mandiri yang tak kusangka memisahkanmu dariku selama sekian tahun. Begitu banyak usaha telah kulakukan untuk menemuimu kembali, namun setiap kesempatan langka yang kudapat untuk menghubungimu, selalu kau tampik dengan kalimat yang sama,

               “Ibu tak mengerti duniaku.”

               Aku menundukkan kepala, membiarkan isakan-isakan lembut berloncatan dari bibirku, sementara anganku melayang pada sosokmu ketika berusia tujuh tahun, tertawa dan menarik tanganku, menceritakan harimu di sekolah yang tak putus-putusnya kau gembar-gemborkan pada dunia. Kemudian berpindah, kali ini kau dengan toga mini yang dengan bangga kau kenakan di hari kelulusanmu dari sekolah menengah. Kau ceritakan dengan semangat tentang betapa terkesannya gurumu akan prestasimu, dan betapa terpesonanya murid-murid perempuan pada sosok tampanmu dengan toga. Kau tersenyum lebar.

               Mananya dari duniamu yang tak kumengerti?

               Kembali kusentuh fotomu yang menampilkan sosokmu dengan gitar pertamamu dalam pelukan, teman-teman bermain musikmu merangkulkan lengan kekar bertato mereka pada leher dan bahumu, semuanya memegang instrument masing-masing dan tampil mengerikan di mataku. Saat itu hanya kau yang tampil bersih, tanpa tato, rambut panjang acak-acakan, dan pakaian sobek-sobek. Hanya gitar itu yang menandakan hubunganmu dengan mereka. Namun jelas kulihat dalam sorot matamu yang berbinar ingin tahu, bahwa saat itulah aku mulai tak mengerti duniamu.

               “Ibu, hari Minggu ini aku akan pulang.”

               Masih terngiang suara beratmu di telepon, membisikkan kata-kata yang membahagiakan itu kepada jiwaku yang menua. Ayahmu mengangguk saja ketika kusampaikan berita ini, namun kutahulah dalam hatinya ia sama bahagianya denganku. Namun terlintas dalam benak bodohku yang merindukanmu ini, bahwa kau akan pergi lagi, meninggalkanku ketika kau menyadari bahwa kita masih di dua dunia yang berbeda. Aku harus melakukan sesuatu, atau kau akan meninggalkan ibumu lagi.

               “Nyai sungguh ingin melakukan ini?”

               “Lakukan saja, nduk.”

               Perih merajam kulitku, ledakan air mata membasahi kedua mataku, sementara pekikan putus asa meluncur deras dari verbalku. Rasa sakit ketika jarum itu menandai kulit lenganku dan rasa ngilu membayangkan zat pewarna yang menyebar di bawah kulitku tak seberapa dibanding ketakutanku akan kehilanganmu. Bahkan jika kelak ayahmu pulang dan mengetahui hal ini, aku tak peduli lagi asal kau, buah hatiku satu-satunya, mau mengerti bahwa ibumu rela memasuki dunia yang sama dengan duniamu.

               “Nduk, tolong dipercepat, anak itu bisa sampai kapan saja…”

               Anggukan ragu-ragu dari penato yang kumintai tolong itu menutup ringisan kesakitanku ketika kulit tuaku menerima lukisan laknat itu di atasnya. Gusti Allah, apa yang telah kulakukan ini? Betapa besar ketakutanku dan rasa sayangku pada anakku, hingga aku ikhlas menato tubuh senjaku.

               Semuanya demi anak itu.

               Dan pintu pun terbuka.

               Kau melangkah masuk, menemukan sosok tuaku di ruang tamu beserta penato itu dan bukti yang jelas terpahat di atas lenganku. Sementara mataku tak lepas darimu yang menatapku dengan mata yang kukenal, perasaan yang melandaku campur aduk.

               Bingkisan itu meluncur jatuh dari tanganmu yang jenjang, terbalut baju koko putih, isinya berserakan di dekat kakimu yang kau tutupi dengan selembar sarung sederhana. Air mata yang bercucuran adalah hal pertama yang kutangkap ketika wajah bersih dengan dahi kehitaman itu menghadapku. Sontak, tubuhmu lunglai, terjatuh di atas lututmu dengan lolongan panjang menyakitkan yang takkan kulupakan seumur hidupku.

               “Ya Allaaaah, apa yang kau lakukan, ibuuuuuuuuu? Kenapa kau nodai dirimu seperti ini? Aku sudah berubah, ibu, aku sudah berubah…..”

2010(c)Fitrani Puspitasari.


A drawing I made for the sake of a book written by my friend, Farida Susanty. The book itself is an anthology. "Karena Kita Tidak Kenal" ('Cause We Don't Know Each Other) has 16 or... 17 (...I forgot *feeling down*) short stories with the same theme, stranger. I also made the illustrations for each stories, but I won't publish it since I'm embarrassed. *gets shot*

Oh yeah, it's a cover design. You can see the result here:

http://www.goodreads.com/book/show/8329171-karena-kita-tidak-kenal
It's my first time drawing for a book cover. I know, it's lame and... uh... *feels down again*

Hey, I'm newcomer here! Please treat me well :3

...

That's all?


Happily yours,
Fi Puspitasari