Wears oversized clothes and wedges shoes. Treats everything like the whole world crumbling. She wishes she could spend millions on Zara and Topshop, but she's too broke because of sour candies.

Mostly displaying her latest artwork. She has no scanner and too lazy to go find a place to scan, so pardon her lack of updates.

Pardon the image. She just couldn't find any picture of her literature works and ends up like that. Most of her written stories are in Indonesian language, let's cheer her to write in English, since her English sucks.

things that she captures with her Canon EOS 500D. She doesn't take care of it well, any camera-geeks will slap her for that.

on top of her paper drawn on her paper written on her paper captured on her paper

namanya cinta, tempatnya di atas piring

Ia mencintaiku.

Aku yakin itu. Aku bisa tahu dari senyumnya. Dari caranya memandangku hangat. Dari suaranya yang akrab memanggil namaku agar aku mendekat padanya.

Dan aku mencintainya.

“Apa kabar?” Ia tersenyum lebar, memandangku dan mengusap kepalaku dengan ramah. Aku tersenyum meresponnya.

“Kau sedang senang ya, hari ini?” Laki-laki itu melanjutkan sambil menarikku ke pangkuannya. Aku malu-malu menurut. Ia meletakkan tubuh mungilku dalam pangkuannya dengan hati-hati, lalu ia mulai bercerita, seperti biasanya yang ia lakukan jika mengunjungiku. Cerita tentang apa saja. Aku tak begitu peduli pada ceritanya, aku lebih suka memandanginya.

Ia mencintaiku.

“Sudah waktunya kau bertemu ibuku.” Ia bergumam pelan sambil mengamatiku lekat, suatu hari. Aku tergagap mendengarnya. Namun senyumnya yang menenangkan membungkamku. Lagi-lagi aku menurut saja, mengikuti langkahnya yang berjalan mendahuluiku jauh di depan. Langkahnya lebar-lebar, aku kesulitan dan berusaha mengejarnya. Dan ia mengerti. Ia berhenti dan menungguku menyusulnya.

Dan aku mencintainya.

“Ibu!” Ia berseru keras ketika membuka pintu rumahnya. “Seperti yang sudah kujanjikan, ibu!”

Aku berdebar-debar, tapi ia nampak begitu bangga ketika ibunya muncul, sehingga aku hanya mengikutinya dalam diam. Ibunya memandangku dan tersenyum lebar. “Ini dia yang ditunggu-tunggu!”

“Sana ikut ibuku.” Laki-laki itu mendorong tubuhku pelan dan aku mengikuti langkah ibunya, yang sepertinya ingin aku ikut ke dapur. Aku menoleh untuk memandang laki-laki yang kucintai, dan ia tengah tersenyum, melambai padaku dengan riang.

“Sampai ketemu nanti di makan malam,” Laki-laki itu tertawa lebar, tawanya yang paling kusuka. Masih saling berpandangan, ia memanggil namaku.

Aku mencintainya.

“Daah, Petok.”

Dan ia mencintaiku.


August 19th, 2010 (C) Fitrani Puspitasari
featured in: http://flashfiction.ubudwritersfestival.com/2010/08/he-loves-me-he-loves-me-not/

Share this post:

Digg it StumbleUpon del.icio.us Google Yahoo! reddit

0 komentar:

Posting Komentar